Oleh : Faudzan Fahana
Belakangan ini kalangan ibu-ibu rumah tangga diresahkan oleh adanya berita yang berkembang mengenai keberadaaan bakteri sakazakii yang diduga mencemari susu formula dan makanan bayi yang banyak beredar di lingkungan masyarakat Indonesia. Keresahan ini berawal saat beberapa peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengumumkan hasil temuan mereka bahwa 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel) 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan antara April - Juni 2006 telah terkontaminasi Enterobacter sakazakii. Sampel makanan dan susu formula yang diteliti berasal dari produk lokal yang banyak beredar dipasaran.
Enterobacter sakazakii adalah bakteri gram negatif yang tahan panas dan tidak membentuk spora. Secara klinis, cemaran enterobacter sakazakii menimbulkan diare yang bila tidak diobati dapat menimbulkan dehidrasi dan dapat berakibat fatal pada kesehatan bayi dan anak balita. Bakteri ini juga ditemukan dapat menyebabkan enteritis, sepsis dan meningitis pada bayi mencit dan kemungkinan besar dapat juga menimbulkan hal yang serupa pada bayi dan anak balita yang mengkonsumsi makanan dan susu yang telah tercemari bakteri tersebut.
Melihat bahaya yang ditimbulkannya, sudah sepantasnyalah para orangtua cemas. Pasalnya, sampai saat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menolak untuk mengumumkan merek-merek produk susu formula dan makanan bayi yang beredar, BPOM menyatakan tidak akan menindaklanjuti temuan susu mengandung bakteri dengan berbagai macam alasan. Tindakan ini penulis rasa mencerminkan betapa para pemegang kekuasaan di negara kita lebih mementingkan harga diri dan nama baik instansi dari pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakatnya. Padahal, saat kasus yang hampir serupa terjadi di Australia, pemerintah yang berwenang di sana segera mengumumkan daftar produk yang dicurigai agar masyarakat segera menghentikan penggunaan produk dan memberikan pelajaran berharga bagi produsen produk tersebut untuk lebih memperhatikan kualitas produknya. Pemerintah Australia justru lebih berkomitmen dalam ‘mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,’ sepenggal tujuan hidup bangsa Indonesia yang tercantum dalam paragraf ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan menolak memberikan daftar produk yang bermasalah, pemerintah dengan sendirinya akan membudayakan sikap acuh tak acuh yang menjadi sasaran empuk pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, tetap membiarkan produk-produk tersebut beredar tidak akan memacu produsen untuk belajar memperbaiki kualitas produknya untuk konsumennya di negeri ini, dan hal ini sangat jauh dari tujuan mewujudkan kesejahteraan umum bagi masyarakat kita.
Tidak menarik produk-produk bermasalah dan membiarkan masyarakat umum untuk mengkonsumsi produk yang akan menimbulkan penyakit-penyakit diatas, berpotensi mengganggu kesehatan generasi selanjutnya yang tentunya, akan berpengaruh terhadap kecerdasan mereka di masa depan.
Dan dengan memilih untuk bungkam dan tidak melakukan tindakan apapun, pemerintah kita jelas telah melanggar ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial. Akibatnya malah akan merugikan rakyat banyak yang tidak tahu menahu akan soal itu. Dari kasus kecil seperti ini kita dapat belajar, betapa bangsa kita terlalu sering mentolerir kesalahan-kesalan kecil yang fatal akibatnya bagi generasi selanjutnya, padahal tidak ada salahnya mengakui kesalahan, bila dengan mengakui kesalahan itu, kita dapat menjadi bangsa yang lebih baik dari hari sebelumnya. Semoga!
Glosarium:
Enteritis : peradangan pada usus (abdomen)
Sepsis : keberadaan mikroorganisme patogen (berisiko menimbulkan penyakit) atau toksin (racun) dalam darah atau jaringan
Meningitis : peradangan pada selaput yang membungkus otak
Mencit : sejenis tikus yang biasa digunakan dalam menguji suatu perco
*neh..opini dbuat waktu masih zaman2x jd maba dulu..lg semangat2x jd mahasiswa y idealis...gyahahaha..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar